Zaman sudah berubah dari cosmocentris ke logocentris atau pandangan alam ke era postmodern, dari era batu ke era komunikasi. Dengan keadaan tersebut tentunya manusia sudah banyak sekali dibekali pengalaman hidup untuk mencari arah tujuan hidup mereka. Agama adalah salah satu yang diyakini sebagai petunjuk arahnya.
Namun sangat disayangkan jika kita dalam berkeyakinan terlalu bertolak ke agamanya, sehingga meredupkan nilai wahyu dari Tuhan (tentunya lewat perantara/nabi) yang murni tanpa campur tangan manusia. Alhasil agama selalu dikaitkan dengan permasalahan politik, sosial, budaya, yang seharusnya tidak perlu disangkutpautkan. Apabila aspek tersebut dibawa sampai sekarang yang terjadi adalah ketidak sepahaman dengan orang berkeyakinan yang berbeda, apalagi pada bangsa yang mempunyai pluralitas (keanekaragaman) agama seperti di Indonesia.
Ada suatu pandangan tentang agama yang bagi saya sangat menarik, dari seorang intelektual muda Indonesia yang kontroversial di era dekade 80-an yaitu Ahmad Wahib. Beliau memandang bahwa agama adalah hasil proses dialektika inspirasi Tuhan, dalam membentuk wahyu, dengan kenyataan-kenyataan pada manusia berikut kondisi objektif sejarahnya. Yang diwahyukan oleh Tuhan bukanlah agamanya, melainkan nilai ajarannya. Nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, persaudaraan, dan lain sebagainya adalah inspirasi (wahyu) Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat.(Wahid Du Aba, 2004)
Lalu bagaimana cara memandang agama yang seharusnya?
Agama secara keseluruhan harus dilihat sebagai memiliki aspek-aspek normatif-doktrinalnya yang inherent. Kedua sisi ini harus dipilah-pilah dan dipetakan wilayahnya. Supaya dapat dijelaskan yang mana nilai dan yang mana sistem, mana wahyu dan mana pengejawantahnya, mana wilayah Tuhan dan mana wilayah manusia, mana yang tetap dan mana yang berubah, mana yang esoteris dan mana eksoteris, mana yang objektif dan mana yang subjektif, serta mana yang universal dan mana yang partikular dan harus disesuaikan dengan kondisi locus dan tempus (waktu dan tempat).
Gama TW
Sebagian artikel dikutip dari buku Ahmad Wahib (Pergulatan Doktrin dan Realitas Sosial) oleh Aba Du Wahid.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar