Kamis, 17 April 2008

Guyonan Warung : Membajak Karena Dijajah


Guyonan Warung

Tengah malam seperti biasanya setelah berdiskusi ngalor-ngidul di rumahku, komunitas KERTAS (Kelompok Kreativitas) mangkal di warung Internet (Indomie Telor Kornet) Tembalang. Disitu kami membahas macam-macam persoalan dari masalah cewek cakep sampai cowok cabul, dari infotaiment sampai gosipin dosen, komentar karya-karya Arsitek dari serius sampai yang konyol. Nah, tapi yang lumayan seru adalah persoalan pembajak software komputer (tapi ini bukan karya musik).

Berawal dari kejengkelan kita sebagai mahasiswa yang aktivitasnya sehari-hari tentunya berhadapan dengan komputer harus dihadapkan dengan realita bahwa 90% software yang kita pakai untuk bekerja adalah bajakan (10%nya driver atau gratisan) dan pemerintah sendiri nampaknya tidak arif dalam menanggapi hal ini. Dengan berbekal hujatan dari para pemegang lisensi software, melarang peredaran software-software bajakan tersebut namun tidak dibarengi dengan perhatian kebutuhan konsumen terutama mahasiswa (mahasiswa tulen yang seharusnya sudah merasa malu bergantung pada orang tua). Alhasil yang terlihat sekarang para rental-rental software bajakan uring-uringan dengan petugas razia, nah kalau sudah begini mahasiswalah yang direpotkan. Di semarang sendiri jarang ada toko-toko yang menjual software asli (kalaupun ada, yang dijual hanya versi demo atau tutorialnya saja). Satu-satunya jalan adalah membelinya lewat internet atau pergi ke kota-kota besar yang tersedia outlet software itu sendiri, dan itu mungkin harganya selangit.

Bukan Semata-mata Salah Pembajak

Obrolan ini adalah banyolan konyol, namun kalau dipikir-pikir masuk akal juga. Berbekal dengan pengetahuan membaca buku dan koran yang pas-pasan ditambah pengalaman belajar 16 tahun lebih menghasilkan suatu penelitian ilmiah yang keakuratannya sangat-sangat diragukan, adapun persepsinya sebagai berikut.
Adil rasanya kalau kita melihat dari sisi ini : Dahulu kita telah dijajah 3,5 abad lamanya, pikiran kita dibelenggu, diasingkan dan sulit untuk berkembang. Singkatnya begini, jika kita tidak dijajah mungkin kita sudah bisa membuat kapal perang sendiri, mungkin kita sudah dapat membuat komputer dan program-programnya sendiri, bahkan mungkin kita sudah merajai perusahaan-perusahaan komputer dunia. ” Tapi toh pada kenyataannya tidak kan? Ya itu karena akibat penjajahan, ya to ? ” (obrolan orang ngantuk...ya begini). ”Lalu wajarlah kalau sekarang kita menikmati hasil-hasil dari negara-negara yang kebetulan sudah maju terlebih dahulu itu, dengan penghargaan yang kecil (”mbajak”) lha wong kita disini tujuannya untuk mengikuti zaman tapi tidak punya ”kemampuan” karena dulu dijajah. Dan wajar pula jika pemerintah tidak memikirkan serius hal ini lha waktu dijajah gak diajarin untuk menghargai hasil karya orang lain oleh penjajah. Lalu ”mbajak” itu salah satu jalannya, toh itu juga warisan dari leluhur kita (maksudnya mbajak sawah ; kalau ini sudah benar-benar ngawur) ”.

Adil kannn...bweeh (guyonan orang-orang abnormal....silakan maki-maki aja kalau gak setuju)
-Gama TW-

Selasa, 08 April 2008

KEYAKINAN JANGAN DIPANDANG SEMATA-MATA KARENA ASPEK AGAMANYA SAJA.

Zaman sudah berubah dari cosmocentris ke logocentris atau pandangan alam ke era postmodern, dari era batu ke era komunikasi. Dengan keadaan tersebut tentunya manusia sudah banyak sekali dibekali pengalaman hidup untuk mencari arah tujuan hidup mereka. Agama adalah salah satu yang diyakini sebagai petunjuk arahnya.

Namun sangat disayangkan jika kita dalam berkeyakinan terlalu bertolak ke agamanya, sehingga meredupkan nilai wahyu dari Tuhan (tentunya lewat perantara/nabi) yang murni tanpa campur tangan manusia. Alhasil agama selalu dikaitkan dengan permasalahan politik, sosial, budaya, yang seharusnya tidak perlu disangkutpautkan. Apabila aspek tersebut dibawa sampai sekarang yang terjadi adalah ketidak sepahaman dengan orang berkeyakinan yang berbeda, apalagi pada bangsa yang mempunyai pluralitas (keanekaragaman) agama seperti di Indonesia.

Ada suatu pandangan tentang agama yang bagi saya sangat menarik, dari seorang intelektual muda Indonesia yang kontroversial di era dekade 80-an yaitu Ahmad Wahib. Beliau memandang bahwa agama adalah hasil proses dialektika inspirasi Tuhan, dalam membentuk wahyu, dengan kenyataan-kenyataan pada manusia berikut kondisi objektif sejarahnya. Yang diwahyukan oleh Tuhan bukanlah agamanya, melainkan nilai ajarannya. Nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, persaudaraan, dan lain sebagainya adalah inspirasi (wahyu) Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat.(Wahid Du Aba, 2004)

Lalu bagaimana cara memandang agama yang seharusnya?

Agama secara keseluruhan harus dilihat sebagai memiliki aspek-aspek normatif-doktrinalnya yang inherent. Kedua sisi ini harus dipilah-pilah dan dipetakan wilayahnya. Supaya dapat dijelaskan yang mana nilai dan yang mana sistem, mana wahyu dan mana pengejawantahnya, mana wilayah Tuhan dan mana wilayah manusia, mana yang tetap dan mana yang berubah, mana yang esoteris dan mana eksoteris, mana yang objektif dan mana yang subjektif, serta mana yang universal dan mana yang partikular dan harus disesuaikan dengan kondisi locus dan tempus (waktu dan tempat).

Gama TW
Sebagian artikel dikutip dari buku Ahmad Wahib (Pergulatan Doktrin dan Realitas Sosial) oleh Aba Du Wahid.